Kamis, 28 Agustus 2014

perang terhadap korupsi belum usai.

Perang melawan korupsi tidak hanya membutuhkan cara-cara yang biasa digunakan oleh para penegak hukum, yaitu dengan menjatuhkan hukuman dan memenjarakan para koruptor ke dalam lembaga pemasyarkatan. Fenomena tersebut rasanya tidak memberikan efek yang sangat signifikan terhadap para koruptor. Bahkan setelah hakim menjatuhkan hukumanpun banyak para koruptor menebar senyum sekakan sanksi tersebut bukan merupakan ancaman yang serius bagi dirinya. Penjatuhan sanksi pidana sebagai penderitaan (nestapa) yang sengaja dijatuhkan kepada orang yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana terasa biasa-biasa saja terdengar ditelinga para koruptor. Pemberian remisi terhadap koruptor oleh pemerintah (Kementrian hukum dan Hak asasi Manusia) sebagai otoritas pemegang hak mutlak memberikan remisi, hal ini tidak sejalan dengan semangat pemebrantasan korupsi. korupsi sebagai extra ordinary crime, perbuatan bejat, tidak jujur, tidak bermoral, tetap saja mendapatkan tempat yang istimewa dihati pemerintah, pemerintah seakan iba, kasihan serta merasa bersalah jika tidak memberikan remisi kepada para koruptor. Apakah ini yang dinamakan perang terhadap korupsi. Belum lama ini terpidana kasus pengemplangan pajak Gayus Tambunan. Gayus diberikan remisi satu bulan 15 hari dari masa tahanannya. hari raya Idulfitri 1435 H dari Kementerian hukum dan Ham, Senin (28/7/2014). Maraknya pemebritaan korupsi Hampir setiap hari pemberitaan di beberap media baik cetak maupun elektronik, hamper setiap hari media memberitakan tentang tertangkpnya seorang korupsi, penjatuhan hukuman terhadap korupsi, mengisolasi seorang tahanan korupsi gara-gara rebut. Tetapi praktek korupsi setiap hari tetap dilkukan dan pemberitaan tersebut bukan merupakan teguran dan peringatan.