Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan Mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra terhadap jabatan Jaksa Agung Hendarman Supanjdi. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD memutuskan, sejak Rabu (22/9/2010) pukul 14.35, Hendarman Supandji tidak sah mengemban jabatan Jaksa Agung.
Terkait dengan masa jabatan Jaksa Agung Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak secara jelas mengatur mengnai masa jabatan Jaksa Agung, namun dalam Pasal 22 menyebutkan bahwa :
Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatnnya kerena
a. Meninggal dunia
b. Permintaan sendiri
c. Sakit jasmani terus menerus
d. Berakhirnya masa jabatan
e. Tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 21
Berkaitan denagn Pasal 22 huruh (d) Mahkamah Konstusi berpendapat bahwa berakhirnya masa jabatan jaksa agung bertepatan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu priode bersama-sama dengan anggota kabinet atau diberhentikan dalam priode yang bersangkutan. Pasal 19 Undang-undang Kejaksaan menyebutkan bahwa Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, namun dalam hal ini terkait dangan masa jabatan Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung tidak diberhentikan oleh Presiden maka jabatan Jaksa Agung telah berkahir dengan masa jabatan presiden.
Masa jabatan Hedaraman Supanji sebagai Jaksa Agung penulis berpendapat bahwa Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung telah berakhir terhitung sejak putusan tersebut dibacakan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi pada jam 14 -35 tanggal 22 sepetember 2010, artinya Hendaraman supanji sudah tidak legal lagi mengemban jabatan sebagai Jaksa Agung. Berdasakan amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa :
masa jabata jaksa agung itu berakhir dengan masa jabatan presiden Republik Indonesia dalam satu priode dengan anggota kabinet atau diberhentikan dalam preiode yang bersangkutan.
Berdasrakan amar putusan tersebut, telah jelas menyatakan bahwa masa jabatan Jaksa Agung (Hendarman Supanjdi) telah berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden selama satu periode, sebagai konsekunsi dari putusan tersebut maka jaksa agung tidak sah lagi (tidak legal) “haram” menjabat sebagai jaksa agung. Untuk mengakhiri jabatan Jaksa Agung maka harus dibuat Keppres mengeni pemebrhentian atau pengangkatan kembali dalam jangka waktu tertentu apabila diperlukan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan keputusan yang bersifat final dan mengikat berdasrkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Konsekunsinya adalah pemerintah dalam hal ini Presiden sebagai pemegang otoritas tertinggi untuk mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung bukan hanya menghormati tetapi juga wajib melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, karena ini akan berdampak pada citra yang kurang baik (preseden buruk) pada pemerintah apabila keputusan tersebut diabaikan atau tidak dilaksanakan.
Jumat, 24 September 2010
Jumat, 09 April 2010
PENYAIKIT ITU BERNAMA KORUPSI
PENYAIKIT ITU BERNAMA KORUPSI
Di Indonesia Korupsi dikenal dengan istilah KKN singkatan dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang menular di setiap aparat negara dari tingkat yang paling rendah hingga tingkatan yang paling tinggi. Korupsi secara sederhana dapat diartikan sebagai penggunaan fasiltas publik untuk kepentingan pribadi dengan cara melawan hukum.
Disamping itu, tindak pidana korupsi akan membentuk kondisi kemiskinan yang semakin parah yang mengancam jutaan orang di seluruh negara. Sehingga jika dibiarkan menjangkit maka tindak pidana korupsi akan menciptakan suatu pemerintahan yang irasional, yang didorong oleh keserakahan individu atau kelompok, bukan oleh tekad memenuhi kebutuhan rakyat (1). Ditinjau dari pelakunya, tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime). Hal ini disebabkan karena pelaku korupsi adalah orang-orang yang berpendidikan dan menggunakan cara-cara yang canggih. Selain itu, seiring dengan perkembangan dan kecanggihan teknologi, modus operandi dalam tindak pidana korupsipun sanagat hebat dan pesat perkebangannya yakni tidak hanya terbatas pada satu yurisdiksi negara tertentu saja, tetapi seringkali lintas yurisdiksi banyak negara lain. Fakta tersebut juga tercantum dalam pembukaan konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi tahun 2003 yang menyatakan bahwa korupsi tidak hanya merupakan persoalan lokal semata, tetapi telah menjadi fenomena internasional yang berefek pada sendi kehidupan sosial, ekonomi dan menharuskan adanya kerjasama internasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasannya(2). Kejahatan Korupsi adalah jenis tindak kejahatan yang sulit dijangkau oleh aturan hukum. Perbuatan korupsi merupakan suatu perbuatan curang dan tidak jujur yang bermula sebagai perbuatan jahat yang memerlukan kemampuan berpikir (inteligensi), dengan pola perbuatan yang demikian itu kemudian paling rendah merangsang untuk ditiru dan menjalar di lapisan masyarakat. Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru dan menjadi endemik yang sangat lama. Secara legal formal, pemberantasan korupsi di indonesia telah dimulai pada tahun 1960 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Tahun 1960 pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi, sedangkan Undang-undang terakhir yang diundangkan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang merubah beberapa ketentuan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemebrantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara umum, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara preventif, detektif dan refresif. Strategi preventif diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya korupsi. Strategi detektif dibuat dan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi telanjur terjadi, akan dapat diketahui secara dini dan seakurat-akuratnya sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Sedangkan stregi refresif dibuat dan dilaksanakn untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal kepada pihak-pihak yang terkait dengan korupsi. Selain komitmen (political will) pemerintah yang ditandai dengan dikeluarkanya dan dilaksankannya kebijakan-kebijakan hukum, hal yang paling penting adalah menilai kinerja aparat penegak hukum dalam pemeberantasan korupsi di Indonesia. Kinerja aparat penegak hukum tersebut patut dinilai mengingat mereka adalah pihak-pihak yang sehari-hari sangat berkepentingan dangan preoses pemberantasan tindak pidana korupsi, baik dari penyelidikan, penyidikan penuntutan dan pemeriksaan di persidangan maupun dalam proses eksekusi putusan hakim (3).
Daftar Pustaka
(1). Yesmil Anwar dan Adang , pembaharuan Hukum Pidna Indonesia (Reformasi Hukum Pidana), Jakarta: Grasindo, 2008, hlm. 269.
Badan Pengayoman Hukum Nasional (BPHN) DEPKUMHAM, Analisis dan Evaluasi Hukum (2). Penuntutan dan Pemeriksan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Gramedia, 2008, hlm. 2
Di Indonesia Korupsi dikenal dengan istilah KKN singkatan dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang menular di setiap aparat negara dari tingkat yang paling rendah hingga tingkatan yang paling tinggi. Korupsi secara sederhana dapat diartikan sebagai penggunaan fasiltas publik untuk kepentingan pribadi dengan cara melawan hukum.
Disamping itu, tindak pidana korupsi akan membentuk kondisi kemiskinan yang semakin parah yang mengancam jutaan orang di seluruh negara. Sehingga jika dibiarkan menjangkit maka tindak pidana korupsi akan menciptakan suatu pemerintahan yang irasional, yang didorong oleh keserakahan individu atau kelompok, bukan oleh tekad memenuhi kebutuhan rakyat (1). Ditinjau dari pelakunya, tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime). Hal ini disebabkan karena pelaku korupsi adalah orang-orang yang berpendidikan dan menggunakan cara-cara yang canggih. Selain itu, seiring dengan perkembangan dan kecanggihan teknologi, modus operandi dalam tindak pidana korupsipun sanagat hebat dan pesat perkebangannya yakni tidak hanya terbatas pada satu yurisdiksi negara tertentu saja, tetapi seringkali lintas yurisdiksi banyak negara lain. Fakta tersebut juga tercantum dalam pembukaan konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi tahun 2003 yang menyatakan bahwa korupsi tidak hanya merupakan persoalan lokal semata, tetapi telah menjadi fenomena internasional yang berefek pada sendi kehidupan sosial, ekonomi dan menharuskan adanya kerjasama internasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasannya(2). Kejahatan Korupsi adalah jenis tindak kejahatan yang sulit dijangkau oleh aturan hukum. Perbuatan korupsi merupakan suatu perbuatan curang dan tidak jujur yang bermula sebagai perbuatan jahat yang memerlukan kemampuan berpikir (inteligensi), dengan pola perbuatan yang demikian itu kemudian paling rendah merangsang untuk ditiru dan menjalar di lapisan masyarakat. Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru dan menjadi endemik yang sangat lama. Secara legal formal, pemberantasan korupsi di indonesia telah dimulai pada tahun 1960 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Tahun 1960 pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi, sedangkan Undang-undang terakhir yang diundangkan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang merubah beberapa ketentuan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemebrantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara umum, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara preventif, detektif dan refresif. Strategi preventif diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya korupsi. Strategi detektif dibuat dan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi telanjur terjadi, akan dapat diketahui secara dini dan seakurat-akuratnya sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Sedangkan stregi refresif dibuat dan dilaksanakn untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal kepada pihak-pihak yang terkait dengan korupsi. Selain komitmen (political will) pemerintah yang ditandai dengan dikeluarkanya dan dilaksankannya kebijakan-kebijakan hukum, hal yang paling penting adalah menilai kinerja aparat penegak hukum dalam pemeberantasan korupsi di Indonesia. Kinerja aparat penegak hukum tersebut patut dinilai mengingat mereka adalah pihak-pihak yang sehari-hari sangat berkepentingan dangan preoses pemberantasan tindak pidana korupsi, baik dari penyelidikan, penyidikan penuntutan dan pemeriksaan di persidangan maupun dalam proses eksekusi putusan hakim (3).
Daftar Pustaka
(1). Yesmil Anwar dan Adang , pembaharuan Hukum Pidna Indonesia (Reformasi Hukum Pidana), Jakarta: Grasindo, 2008, hlm. 269.
Badan Pengayoman Hukum Nasional (BPHN) DEPKUMHAM, Analisis dan Evaluasi Hukum (2). Penuntutan dan Pemeriksan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Gramedia, 2008, hlm. 2
Langganan:
Postingan (Atom)