PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE SEBEGAI ALTERNATIF PENANGANAN MASALAH KENAKALAN ANAK


A. Pendahuluan
Anak sebagai potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, harus mendapatkan prioritas perlakuan dan perlindungan secara khusus yang berbeda dengan orang dewasa agar anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya baik perlidungan yang diperoleh dari kedua orang tua, masyarakat dan negara. Keberadaan anak sebagai sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, maka sudah tepat kiranya anak mendapat suatu perlakuan khusus guna memberikan perlindungan dan jaminan atas kelangsungan masa depannya. Perlakuan khusus ini tentunya juga berkaitan terhadap anak yang memiliki prilaku khusus. Perilaku yang menyimpang yang mengarah pada tindak kriminal. Dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pada butir (a) menyebutkan bahwa : “Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memilki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan fisik mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang”.

Perlindungan anak merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi yang melindungi anak agar dapat melaksanakan hak, dan kewajibannya. Berdasarkan parens patriae, yaitu negara memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak-anak sebagaimana layaknya orang tua kepada anak-anakanya, maka penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak serta berpijak pada nilai-nilai Pancasila.
Rosseau sebagaiman dikutip oleh Nur Rochaeti menegaskan, bahwa dalam segala persoalan yang berhubungan dangan anak-anak, seyogyanya kita lebih banyak membicarakan tentang hak-haknya daripada kewajibannya. Sedangkan Arief Gosita melihat perlindungan anak sebagai suatu kegiatan bersama yang bertujuan mengusahakan pengamanan pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan rokhaniah dan jasmaniah anak yang sesuai dengan kepentingannya dan hak asasinya.
Dalam konsepsinya, perlindungan anak tidak hanya meliputi perlindungan atas hak-haknya saja tetapi juga berkaitan dengan aspek pembinaan generasi muda, dengan memperhatiakn bahwa anak-anak bukanlah individualis sebab anak masih sangat tergantung pada orang dewasa, terutama orang-orang dewasa yang mereka kenal, disamping itu juga adanya fakta bahwa anak belum dapat menghidupi dirinya sendiri.
Dalam relasinya dengan hukum, perlindungan dan perlakuan terhadap anak juga harus mendapatkan perhatian secara khusus. Demikian pula jika anak bersentuhan dengan hukum pidana tidak semestinya menjadi alasan untuk memperlakukan anak sama dengan orang dewasa. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana tidak seharusnya juga diproses melalui proses formal, proses yang menghadapkan dirinya pada sistem peradilan pidana, apalagi melakukan penahanan terhadap anak. Hal ini harus dijadikan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium). Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak:
“Penangkapan penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.

Di samping instrumen nasional, instrumen internasional juga menyatakan penangkapan, penahanan dan pemenjaraan harus menjadi langkah terakhir tercantum dalam Pasal 37 huruf b Konvensi Hak-hak Anak.
“Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus seseuai dengan hukum dan hanya diterapakan sebagai upaya terakhir untuk jangka waktu sesingkat-singkatnya”.

Artinya bahwa ada kewajiban dari para aparat penegak hukum sebelum melakukan langkah penangkapan, penahanan atau pidana penjara terhadap anak harus ada upaya lain yang harus ditempuh sebagai alternatif terhadap penanganan suatu tindak pidana. Hal ini demi kepentingan terbaik bagi anak.
Sebagai salah satu contoh yang sangat bertolak belakang dengan apa yang telah diamanatkan baik oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak maupun Konvensi Hak-hak Anak :
“Siswa kelas II SMP Al Jihad Johar Baru Jakarta Deli Suhandi dituduh polisi mencuri voucher XL senilai Rp10 ribu. Deli Suhandi ditahan di Rutan Pondok Bambu selama 24 (dua puluh empat) hari. Atas permintaan penasehat hukumnya akhirnya Deli Suhandi ditangguhkan penahannya oleh jaksa penuntut umum”.

Berdasarkan hal tersebut, Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, menuturkan :
“Bahwa Telah terjadi berbagai pelanggaran prosedural dalam penanganan kasus pelajar Kelas II salah satu sekolah menengah pertama di wilayah Jakarta Pusat itu. Pertama, tidak adanya barang bukti yang mendukung telah terjadi pencurian, namun belakangan barang bukti voucher perdana XL Rp10 ribu itu dinyatakan ada. Kemudian tidak ada pengaduan atau korban yang merasa dirugikan. Serta proses pemeriksaan terhadap Deli yang tidak didampingi oleh pengacara maupun orang tua. Kapolsek Joharbaru juga telah melanggar telegram khusus Bareskrim tentang Pedoman Penanganan Anak berhadapan dengan hukum. Demi kepentingan penyidikan tidak perlu ada penahanan”. Telegram husus Bareskrim ditujukan kepada seluruh Kapolda dan jajaran dibawahnya. Dalam telegram bertanggal 3 September 2009 itu dalam salah satu poinnya dinyatakan sedapat mungkin dalam menangani kasus anak dikembangkan prinsip diversi dalam model , yakni membangun pemahaman bahwa keterlibatan anak dalam tindak pidana harus dipahami sebagai kenakalan anak dan pelanggaran. Hal itu diharapkan menjauhkan anak dari proses hukum formal agar anak terhindar dari trauma psikologis, stigma dan dampak buruk lainnya.

Bertitik tolak dari pemaparan di atas bahwa kebijakan yang harus digunakan terhadap penanganan masalah kenakalan anak harus mengutamakan kepentingan anak sehingga tidak merugikan anak baik secara fisik maupun psikis. Apabila tidak mengindahkannya hal tersebut tentu bertentangan dengan filosofi dasar perlakuan terhadap anak nakal. Filosofi dasar perlakuan terhadap anak nakal adalah untuk kepentingan terbaik anak ( the best interest of the child ). Dalam hal anak melakukan tindak pidana tidak sepatutnya juga anak diperlakukan seperti halnya orang dewasa.
Kenakalan anak bukan hanya merupakan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat tetapi juga mengancam masa depan bangsa dan negara. Atas dasar ini, anak perlu dilindungi dari perbuatan-perbuatan yang merugikan, agar anak sebagai generasi penerus bangsa tetap terpelihara demi masa depan bangsa dan negara. Arif Gosita mengatakan bahwa anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu, kelompok, organisasi swasta maupun pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung). Yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita kerugian (mental, fisik dan sosial), karena tindakan yang pasif, atau tindakan yang aktif orang lain atau kelompok (swasta atau kelompok) baik langsung maupun tidak langsung.
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik dan sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam pelaksanaan peradilan pidana anak yang asing bagi dirinya, yang menimbulkan kerugian mental, fisik dan sosial. Perlindungan anak dalam hal ini perlindungan hukum/yuridis (legal protection).
Pentingnya perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum adalah guna terpenuhi apa yang menjadi hak-haknya agar anak sebagai generasi penerus tetap terpelihara demi masa depan bangsa dan negara. Proses peradilan pidana anak yang asing baginya yang dapat mendatangkan kerugian bagi anak sejauh mungkin dapat diantisipasi, hal ini guna menghindari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan, serta menghindari cap atau label, karena dengan adanya cap atau label dengan demikian anak cenderung menyesuaikan dengan pangkat barunya sebagai anak yang telah melakukan tindak pidana, sehingga anak cenderung bertambah nakal.
Sehubungan dengan hal tersebut Romli Atmasasmita berpendapat bahwa :
“Pertama, cap atau lebel tersebut menarik perhatian pengamat dan mengakibatkan pengamat selalu memperhatikannya dan kemudian seterusnya cap atau lebel itu diberikan padanya oleh sipengamat; Kedua, cap atau lebel tersebut sudah diadopsi oleh seseorang dan mempengaruhi dirinya sehingga ia mengakui dengan sendirinya sebagaimana cap atau lebel itu diberikan oleh si pengamat”.

Selanjutnya Romli Atmasasmita mengemukakan bahwa : Salah satu dari kedua proses di atas dapat memperbesar penyimpangan tingkah laku penyimpangan (kejahatan) dan membentuk karier kriminal seseorang. Seseorang yang telah memperoleh cap/lebel dengan sendirinya akan menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya. Selanjutnya, kewaspadaan atau perhatian orang-orang disekitarnya akan mempengaruhi orang yang dimaksud sehingga kejahatan kedua dan selanjutnya akan mungkin terjadi.
Untuk itu demi kepentingan terbaik bagi anak untuk menghidari cap atau label dan implikasi negatif lainnya. sejauh mungkin anak dihadapkan pada proses formal, proses yang manghadapkan si anak pada sistem peradilan, hal tersebut harus dijadikan sebagai upaya terakhir apabila segala upaya yang ditempuh dipandang sudah tidak mampu lagi menyelesaikannya. Proses penyelesaian-penyelesain alternatif di luar pengadilan harus mempunyai porsi yang lebih atau banyak berperan terhadap penanganan masalah kenakalan anak, menurut Barda Nawawi Arief disebut Mediasi Penal yang, “merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan”.
Untuk mengantisipasi anak masuk pada proses peradilan, dan implikasi negatif dari proses peradilan maka perlu diupayakan dan memberikan porsi yang lebih besar terhadap penyelesaian secara alternatif di luar pengadilan terhadap penanganan masalah kenakalan anak tanpa harus merasakan kehidupan penjara, perlunya jalan lain untuk menyelesaikan masalah kenakalan anak yang bisa melibatakan komunitas setempat.
Dalam hal ini aparat kepolisian sebagai gerbang pertama yang bersentuhan dengan sistem peradilan pidana, mempunyai peran yang sangat sentral dan sekaligus menjadi penentu apakah seorang anak akan dilanjutkan ke proses peradilan atau dengan tindakan informal lainnya. Kewenangan dalam menentukan apakah seorang anak akan diselesaikan melalui proses formal ke informal dalam hal ini aparat kepolisan telah dilengkapi suatu perangkat hukum dalam mengatasi anak sebagai pelaku tindak pidana yang disebut dengan diversi yaitu pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana dari proses formal keproses informal. Sebagaimana telah diatur dalam telegram khusus bareskrim tanggal 3 September 2009 Tentang Pedoman Penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum yang ditujukan kepada semua KAPOLDA dan jajaran yang berada dibawahnya. Yang mengadopsi dari beberapa ketentuan “Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Remaja”, yang biasa disebut dengan “BEJING RULES”. Artinya dengan dilengkapi kewenangan diversi tersebut, maka para aparat penegak hukum khususnya kepolisian seharunya menjadi inisiator dan fasilitator terhadap penanganan anak yang berkonflik dengan hukum dengan mengimbau kepada semua pihak dengan melibatkan pelaku, korban, orang tua mereka, komunitas setempat, atau pihak sekolah untuk duduk bersama-sama dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara dalam proses penyelesian dengan menggunakan pendekatan restorative justice. Restorative justice adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan dan bukan pembalasan. Restorative justice merupakan upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa “Penangkapan penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.
Restorative justice merupakan salah satu perubahan paradigma yang memberikan solusi terhadap penanganan masalah kenakalan anak, yang menganggap bahwa sistem peradilan pidana tidak memenuhi keadilan substantif, sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan dalam penanganan masalah kenakalan anak, karena pendekatan ini melibatkan semua pihak dalam proses penyelesaian untuk duduk bersama bermusyawarah dengan tujuan yang hendak dicapai adalah untuk memulihakan segala kerugian dari “luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak. Serta perbaikan moral anak agar anak tidak lagi mengulangi perbuatannya, dan menghindari pemenjaraan yang dapat mempengaruhi perkembangan anak secara fisik, mental serta kejiwaannya.
Sebagai alternatif, maka proses restorative justice mestilah lebih baik dari proses dan pola penanganan yang bisa berlaku saat ini. Karena itu, menjadi penting untuk menemukan dan mengenali kerangka pendekatan penanganan yang restoratif. Pertama, adanya keterlibatan para pihak secara maksimal dan bermakna. Selain pelaku dan korban, keluarga pelaku dan korban serta masyarakat merupakan pihak-pihak yang telah dirugikan oleh korban. Kedua, ada kesempatan kepada pelaku untuk membuktikan kapasitas dan kualitas disamping mengatasi rasa bersalah secara konstruktif. Ketiga menitikberatkan pada kerugian yang ditimbulkan, memulihkan kerugian yang diderita korban serta mengurangi kerugian di masa depan dengan melakukan pencegahan kejahtan. Dan keempat, hukuman yang disepakati bagi pelaku mestinya mempertimbangkan aspek kesejahteraan dan kesepadanan.
Kekhawatiran bahwa dengan restorative justice pelaku tidak mendapat nilai pembelajaran, sesungguhnya berangkat dari kebisaaan dan pemahaman bahwa hukuman mesti memenjarakan. Kunci pendektan restoratiev justice sendiri adalah membangun hubungan langsung dan nyata antara kejahatan dengan respon. Dalam bahasa teknis bisa dikatakan bahwa yang menjadi ukuran bukanlah hukumannya, melainkan bagaimana hukuman itu disepakati para pihak serta proses monitoring terhadap hukuman itu. Dengan demikian, yang disasar oleh penedekatan ini bukanlah pelaku jera atas perbuatannya, melainkan terbangunnya kesadaran untuk bertanggungjawab atas perbuatannya dan kemampuan untuk mengendalikan prilaku di masa yang akan datang. Ini berbeda dengan penedakatan retributif yang mengandalkan efek jera. Prakteknya memang anak-anak jera, tapi jeranya anak-anak lebih kepada masuk penjara dan bukan untuk tidak melakukan perbuatan tindak kriminal. Sehingga yang dituntut adalah kecerdasan melakukan tindak kriminal tanpa pernah tertangkap.

Oleh Faturohman : Masiswa Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semrang.


















DAFTAR PUSTAKA

Buku
Atmasasmita, Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung 1992,
Azis, Aminah, Aspek Hukum Perlindungan Anak (Medan, USU Press, 1998).
Dellyana, Santy, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Yogyakarta, Leberty, 1988.
Gosita, Arief, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta, Akedemi Pressindo, 1985.
Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.
Hadisuprapto, Paulus, Delinkuensi Anak Pemahaman dan Penanggulangannya, Selaras, Malang, 2011.
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang : Badan Peneribit Universitas Diponegoro, 1995, hlm, 1995.
Nawawi Arief, Barda, Mediasi Penal, “Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan”, Pustakan Magister, Semarang, 2008.
Prabandari, Hanna, Prostitusi Anak Jalanan di Simpang Lima, Yayasan Setara, Semarang, 2004.
Rochaeti, Nur, Retorative Justce Sebagai Alternatif Penanganan Bagi Anak Delinkuen di Indonesia, Jurnal Masalah-masalah Hukum, Diterbitkan oleh Universitas Diponegoro Semaranag 2009.
Soetejo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, Cetakan kedua, 2008.
Wahid, Eryantouw, Keadilan restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, Penerbit, Universitas Trisakti Jakarta, 2009.
Marshall, Tony F. Restoratiev Justice : An Overview (London : Home Office, 1999)

Peraturan Perundang-Undangan
- United Nations Standards Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules).
- Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
- Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
- Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak-hak Anak.
- Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak.




Sumber Lain
Restorasi Media Perlindungan Anak Konflik Hukum, Jurnal, Edisi Ke-VIII/ Voleme ke III, 2007, Diterbitkan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA), Bandung .
Liputan (apa kabar indonesia) yang ditayangkan oleh tv one pada tanggal 8 April 2011.
http://www.jurnas.com, Komnas Perlindungan Anak Minta Kasus Deli Dihentikan, diakses pada tanggal 7 Apr 2011.